Selamat Datang di Blog Kajian Sastra Daerah

Minggu, 03 Juni 2012

ASAL MULA TARI LINDA

ASAL MULA TARI LINDA Di pulau muna memiliki beberapa tari tradisional , salah satu diantarany yaitu tari Linda .Tari ini di ciptakan oleh seorang Raja di Pulau Muna. Raja ini dipercaya pernah menangkap dan memperistri seorang dari tujuh bidadari kayangan yang turun mandi di sebuah sungai di pulau ini. Kisah tersebut diapresiasikan dalam gerak dan musik dari tarian ini. Tariannya dilakukan secara missal oleh para gadis Muna dengan gerakan lemah gemulai mengikuti irama gendang pogada yang berirama keras.. Tarian ini merupakan peragaan dari upacara adat karia yakni upacara pingitan gadis-gadis menjelang dewasa dan memasuki bahtera rumah tangga. Uniknya Tarian ini, ditengah lingkaran di pertunjukan seni beladiri Balaba atau sejenis silat tradisional. Para pesilat saling menunjukkan ketangkasan dan keahliannya, mereka memukul dengan keras dan menendang dengan kekuatan, membentuk gerakan indah bermakna kejantanan yang mempesona. Jika anda penasaran datanglah ke Pulau Muna yang terkenal pula dengan pesona sejarahnya Hingga sekarang tarian ini tetap lestari dan kini umumnya disuguhkan kepada para tamu maupun wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Tenggara khususnya di Pulau Muna. Menurut Etimologi penamaan Linda berasal dari bahasa Daerah Muna yang berarti menari berkeliling, laksana burung yang terbang, berkeliling dengan sayap yang terkembang indah. Tarian ini adalah salah satu tarian rakyat di daerah muna yang telah lama berkembang di tengah-tengah masyarakat seiring dengan pertumbuhan tradisi adat di daerah itu. Tarian Linda lahir di tengah-tengah masyarakat muna di sekitar abad ke-16,yakni di masa pemerintahan Laposasu (kobang kuduno).Tarian ini di ciptakan sebagai suatu perwujudan tradisi masyarakat di daerah muna dalam hal pemingitan anak-anak mereka di kala memasuki alam ke dewasaan. Pertumbuhan tarian tersebut kemudian meluas sampai kedaearah buton,sehingga sekarang ini telah menjadi tarian tradisional yang sangat popular daerah tersebut. Pelakunya terdiri dari wanita yang jumlahnya terbatas sampai enam atau delapan orang saja.pakaian mereka terdiri dari baju kombo yang bahannya terdiri dari kain polos.leher dan pinggir bawah dibis dengan warnah merah.seluruh pakain ini di hiasi dengan manik-manik yang tebuat dari perunggu.sarungnya di buat empat lapis.dimana lapisan yang paling dalam berwarna merah,kemudian menyusul warna hijau,putih,dan paling luar berwarna hitam. Kepala mereka dihiasi dengan beberapa hiasan seperti tiga buah panto(gelang kepala)di pasang pada bagian atas dari pada konde penari yang telah di lingkar dengan bandol konde dari kain berwarna merah yang di hiasi pula dengan picing dan manik-manik pada bagian belakang kepala di pasang kabunsale yang berwarna merah.mereka juga memakai kalung leher dan beberapa gelang di kedua tangan mereka. Pakaian ini khusus di gunakan pada saat seorang gadis keluar dari pingitan (kagombo) untuk melaksanakan tari Linda. cara memakainya yaitu penari-penari keluar dari dua penjuru dengan gaya lego (berlengang)setelah menghadapi penonton,mulailah gerakan pertama.kedua tangan mengambil selendang yang melilit di leher dan di bawa ke sebelah kiri,laksana orang yang sedang memetik sesuatu bersamaan dengan gerak kaki yang di gesekan ke kiri sambil mengayunkan kaki kanan ke arah kanan dengan perhitungan tiga dan di balas dengan kaki kiri dengan perhitungan empat.selanjutnya kedua tangan di bawa ke sebelah kanan seperti orang yang sedang memetik sesuatu secara bersamaan dengan gerak kaki kiri ke samping kiri dengan perhitungan satu di balas dengan kaki kanan pada perhitungan tiga dan di balas lagi dengan kaki kanan dalam perhitungan empat. Beberapa fariasi terjadi pada saat pertukaran tempat,mempermainkan selendang dan sebagainya.keseluruhan gerakan dalam tari ini terdiri dari empat belas macam gerakan.pada gerakan penutup,kedua tangan di bawa ke sebelah kiri,seperti orang yang sedang memetik buah.kaki kiri di gerakan ke kiri,kaki kanan di ayunkan ke kanan,dengan perhitungan satu di balas dengan kiri pada perhitungan dua,kemudian di ganti dengan kaki kanan dalam hitungan tiga dan seterusnya sampai mencapai perhitungan empat. Akhirnya kedua tangan melepaskan lilitan selendang dan di sandang ke bahu sebelah kanan.tangan kiri memengang sarung (bini-bini) tangan kanan berlengang ( lego-lego ) pengiring dari tarian ini adalah alat musik gendang,gong,dan dengu-dengu.dengan cara di tabu di pukul. Dahulunya sebelum alat-alat musik tersebut di kenal oleh masyarakat,orang-orang sering menggunakan mata tou,dengan nama musik mata tou. Tarian Linda berfungsi sebagai tarian adat dari daerah kabupaten muna yang selalu di laksanakan dalam upacara karia,oleh gadis-gadis remaja yang di upacarakan.pemain tari Linda berjumlah 6 orang putri,sedang di lagukan laggu kadandio syair lagu berbunyi :Ia memerhatikan para bidadari menaruh selendangnya di dahan dan ranting sebuah pohon. Dengan sengaja ia menunggu dari balik kerimbunan. Senja meninggalkan semburat jingga di ufuk barat. Para bidadari mengakhirkan senda guraunya hari itu. Tapi salah satu diantara mereka tidak bisa ikut terbang karena tidak bertemu mengambil salah satu selendang secara diam-diam dan lalu sembunyi selendangnya. Keburu malam, peri malang itu ditinggal seorang diri.Omputo menyeruak dari balik rerimbunan dan mengajaknya pulang. Sang Bidadari menolak dengan penjelasan bahwa dirinya bukan seperti manusia, ia makhluk yang berbeda dari dunia kahyangan dan memiliki banyak pemali.Tapi Omputon bersikukuh bidadari itu harus diboyong. Tanpa selendang, sang Bidadari hanya bisa pasrah. Ia pun diajak ke palaminan. Bidadari selanjutnya diberinama Wa Ode Fari. Ia bersedia diperisteri dengan satu syarat yaitu tidak boleh membuka penanak nasi ketika dirinya sedang memasak. Omputo tidak masalah. Hari berganti, musim berubah. Mereka kemudian dikaruniai seorang putri . Dua tahun berlalu, ada masa panen, ada masa panceklik. Disaat orang lain mulai mengeluhkan kehabisan stok beras di lumbung, lumbung Omputo masih berlimpah. Omputo bingung.Teringat larangan isterinya pantang membuka penanak nasi, Omputo kembali tergugah penasaran. Ia merasa ada misteri dibalik kelakuan isterinya. Rasa ingin tahunya kali ini sangat besar. Suatu saat isterinya pergi mencuci usai mendudukan periuk nasi di tungku, ia nekad melanggar pantangan siterinya. Ia membuka penutup panci dan terkejut sebab di dalam periuk hanya berisi satu butir beras. Setelah mendidih, periuk secara ajaib penuh berisi nasi.Keesokan harinya, Wa Ode Fari yang tidak tahu kejadian itu pergi ke dapur hendak menanak nasi. Ia menuang sebutir beras lalu menunggunya hingga matang. Tapi betapa terkejut setelah matang periuk tidak penuhseperti biasanya. Ia sadar, suaminya telah melanggar pantangan. Sejak terbongkarnya rahasia itu, Wa Ode Fari kehilangan kesaktian. Dan semenja itu Wa Ode Fari harus menumbuk padi seperti layaknya manusia. Hari demi hari stok beras di lumbung terus berkurang. Pasokan padi di lumbung semakin tipis. Suatu pagi ketika Fari seperti biasa hendak mengangkat padi terakhir untuk ditumbuk, ia menemukan selendang di dasar lumbung, yang bertahun-tahun hilang darinya. Ia gembira sekaligus sedih. Meninggalkan seorang anak dan sumi yang perlahan-lahan mulai dicintainya. Ia mulai merasakan keindahan menjadi manusia saat anaknya bermanja-manja penuh kemesraan. Tapi bagaimanapun, dunianya bukan disini. Maka ia berpamitan pada anak dan suaminya lalu terbang dengan sebongkah air mata berurai bertebaran di udara menjadi rintik hujan. Dibawah kelam langit ditengah rinai hujan, anak dan suaminya menatap pilu kepergian itu dengan kesedihan mendalam. Omputo mengakui kelalaiannya namun terlambat menyadari mengapa tidak mematuhi pesan isterinya. Perpisahan seperti hari itu tidak pernah dibayangkan bakal terjadi. Konon sebelum beranjak terbang ke kahyangan, Wa Ode Fari sempat menari sambil mendendangkan nasihat dan petuah untuk anaknya dari udara. Sepeninggal ibunya, sang anak merasakan perbedaan yang mendalam. Ia kehilangan belai manja ibunya. Bagaimanapun berbeda sentuhan ibu dibanding ayah, terutama bagi jiwa kecil seorang anak berusia dua tahun. Dan itu membuat sang anak merindu. Ia sering tampak termenung sendiri. Di bawah pohon tempat terakhir dibunya masih terlihat. Ia masih mampu mengenang semuanya secara detail. Suatu hari di siang bolong yang terik. Sang anak tak lagi merasakan teriknya matahari, rindu yang membakar lebih panas dari matahari di kepalanya. Di sana, dibawah pohon kenangan, sang anak tiba-tiba mengayunkan tubuhnya, meliuk-liuk, seperti gerak ibunya saat terakhir. Ia menari, menarikan tarian ibunya dari mula hingga akhir, tiada yang terlewatkan. Teman bermain yang menyaksikan belum pernah melihat tarian seindah itu. Takjub dan terpana, mereka hanya bisa bergerombol sambil terlongo. Sambil menari, sang anak mendendangkan lagu ibunya. “Dio Lakadandio, dandio lakadandio……..” Konon itulah asal muasal tari Linda dan nyaniannya. Tarian yang tidak pernah diketahui siapa penciptanya, dan lagu yang tidak pernah diketahui artinya. Belum ada yang mampu menerjemahkan bait nyanyian itu hingga kini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar